Al-Qusyairi mengatakan bahwa ikhlas adalah
mengesakan Allah dalam mengerjakan ketaatan dengan sengaja, yaitu melakukan
ketaatan semata-mata untuk mendekatkan diri kepada Allah tanpa ada tendensi
lain, seperti berpura-pura kepada makhluk, mencari pujian kepada manusia atau
makna lain selain mendekatkan diri kepada Allah, dapat juga dikatakan bahwa
ikhlas adalah memurnikan perbuatan dari pandangan makhluk. Sementara, Ad-Daqqaq
mengatakan bahwa ikhlas adalah menutupi segala perbuatan dari pandangan makhluk
sehingga seorang yang mukhlis tidak memiliki sifat riya’. Disisi
lain, al-Anshari mendeskripsikan bahwa seseorang disebut mukhlis apabila
dia tidak melihat keikhlasannya dan tidak tenang terhadapnya, jika dia
menyalahi itu, maka ikhlasnya belum sempurna, bahkan sebagaian kalangan
menyebutnya riya’. (al-Qusyairi, 1330 H: 95-96)
Dari beragam pendapat ulama diatas, dapat
diketahui bahwa ikhlas bermuara pada satu tujuan, yakni hendaklah “hawa nafsu”
tidak memiliki bagian dalam amal ibadah.
Ikhlas dalam al-Qur’an dan as-Sunnah
Allah memerintahkan agar segala amal ibadah
manusia, baik berupa ucapan, tindakan maupun harta, senantiasa dikerjakan
dengan ikhlas, semata-mata untuk Allah dan jauh dari unsur riya’. Allah
berfirman dalam az-Zumar ayat 11:
قل
إني أمرت أن أعبد الله مخلصا له الدين
Artinya: "Katakanlah:
Sesungguhnya aku diperintahkan supaya menyembah Allah dengan memurnikan
ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama. "
(Depag
RI, 2006: 460)
Dan al-Bayyinah ayat 5:
وما أمروا إلا
ليعبدوا الله مخلصين له الدين حنفاء ويقيموا الصلاة ويؤتوا الزكاة وذلك دين القيمة
Artinya: " Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah
Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan
lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang
demikian itulah agama yang lurus. "
(Depag
RI, 2006: 598)
Beberapa
hadits Nabi SAW juga menjelaskan
pentingnya ikhlas :
·
Diriwayatkan
dari Abu Umamah bahwa suatu ketika seorang laki-laki datang kepada Rasulullah
dan berkata, "bagaimana pandanganmu tentang seorang laki-laki yang
berperang untuk mencari upah dan sanjungan, apa yang akan diperolehnya?
Rasulullah menjawab: "dia tidak akan memperoleh apa-apa."
Laki-laki itu mengulangi pertanyaan tersebut sebanyak tiga kali dan Rasulullah tetap
menjawab dia tidak akan memperoleh apa-apa. Lalu beliau bersabda:
إِنَّ
اللَّهَ لَا يَقْبَلُ مِنْ الْعَمَلِ إِلَّا مَا كَانَ لَهُ خَالِصًا وَابْتُغِيَ
بِهِ وَجْهُهُ
"Sesungguhnya Allah tidak akan menerima
amal, kecuali jika dikerjakan dengan ikhlas semata-mata untuk-Nya dan untuk
mencari ridha-Nya." (an-Nasa'i, Maktab asy-Syamila: hadits no 3089)
·
Diriwayatkan
dari Abu Hurairah, bahwa Nabi SAW bersabda:
إِنَّ اللَّهَ
لَا يَنْظُرُ إِلَى أَجْسَادِكُمْ وَلَا إِلَى صُوَرِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى
قُلُوبِكُم
"Sesungguhnya
Allah tidak melihat jasad dan bentuk tubuh kalian akan tetapi Allah melihat
hati kalian." (Muslim, Maktab asy-Syamila: hadits no 4650)
Level Ikhlas
Menurut Ibnu Ujaibah, terdapat tiga tingkatan
dalam ikhlas, yaitu ikhlas orang awam, ikhlas orang khawwash dan ikhlas
orang khawwashul-khawwash. Ikhlas orang awam adalah mengesampingkan
makhluk dari hubungan dengan Tuhan seraya memohon pahala dunia dan akhirat,
seperti harta, rezeki luas. Ikhlas orang khawwash adalah memohon pahala
akhirat tanpa duniawi, sedang ikhlas orang khawwashul-khawwash
mengesampingkan kedua jenis ganjaran diatas, ibadahnya semata-mata mewujudkan
penghambaan sebagai manifestasi rasa cinta dan rindu kepada Allah. (Ibnu
Ujaibah, Vol 1, 1331 H: 25)
DAFTAR PUSTAKA
Al-Maktab as-Syamilah, ver 2.11
Al-Qusyairi, Abu Qasim, ar-Risalah
al-Qusyairiyyah, Kairo: Mushthafa al-Babi al-Halbi, 1330 H.
Departemen Agama RI, al-Qur'an Tajwid dan
Terjemahnya, Bandung: Syamil Cipta Media, 2006.
Ujaibah, Ahmad, Iqazh al-Himam fii Syarh al-Hikam, Kairo:
al-Jamaliah, 1331 H
0 Response to "Ikhlas dalam wilayah Teologi Islam"
Post a Comment