Masyarakat Civil Society atau Masyarakat Madani (Konsepsi Keragaman ala Nurcholis Madjid)


Memahami term masyarakat Madani memang sulit, tetapi Cak Nur-panggilan akrab Nurcholis Madjid mampu mendeskripsikan term ini dalam perspektif keIndonesiaan yang aspiratif, substantif dan fungsional. (Madjid, 1999: 17)
Cak Nur menafsirkan bahwa wujud nyata masyarakat Madani termanifestasi ketika Nabi Hijrah ke Yatsrib. Dengan tindakan itu, Nabi SAW telah merintis dan memberi  teladan kepada ummat manusia dalam membangun masyarakat Madani, yaitu masyarakat yang berperadaban (ber”madaniyyah”) karena tunduk dan patuh pada (dana-yadinu) kepada ajaran kepatuhan (din). Masyarakat Madani hakekatnya adalah reformasi total terhadap masyarakat tak kenal hukum (lawness) Arab Jahiliyyah dan terhadap supremasi kekuasaan pribadi seorang penguasa yang selama ini menjadi pengertian umum tentang negara. (Madjid, 2000: 125).
Cak Nur menandaskan bahwa Madinah adalah sebuah konsep pola kehidupan sosial yang sopan, yang ditegakkan atas dasar kewajiban dan kesadaran umum untuk patuh kepada peraturan dan hukum. Karena itu kata Arab untuk peradaban adalah Madaniyyah, yang memiliki dasar pengertian yang sama dengan term dari akar rumpun bahasa Indo-Eropa seperti civic, civil, polis dan politiae. Semua merujuk kepada pola kehidupan teratur dalam lingkungan masyarakat yang disebut “kota” (city, polis). Maka Civil Society atau masyarakat Madani dapat diartikan sebagai masyarakat yang utuh (solid) dimana kemajemukan dan kebersamaan sangat dihormati. Sebagai konsep kemasyarakatan, semua negara dan bangsa di dunia pada dasarnya berbicara tentang masyarakat madani sesuai kepentingan masing-masing, namun secara kontekstual, masing-masing bangsa punya sistem nilai sebagai acuan filosofisnya. (Madjid, 2001: 52)
Perspektif masyarakat Madani di Indonesia dapat dirumuskan secara sederhana, yaitu membangun masyarakat adil, terbuka dan demokratis, dengan landasan takwa kepada Allah dalam arti semangat Ketuhanan Yang Maha Esa. Ditambah legalnya nilai-nilai hubungan sosial yang luhur, seperti toleransi dan juga pluralisme, adalah merupakan kelanjutan nilai-nilai keadaban (tamadun). Sebab toleransi dan pluralisme adalah wujud ikatan keadaban (bond of civility). (Sufyanto, 2001: 120)
Bercermin dari sebuah kedirian bahwa manusia adalah fitrah, Cak Nur mensitir Hadits Nabi yang menyatakan: “Sebaik-baik ummat beragama di sisi Allah SWT adalah yang memiliki sifat al-Hanafiyat al-Samhah.” Yakni ummat yang bersemangat mencari kebenaran yang lapang, toleran, tanpa kefanatikan. Menurut Cak Nur, hal ini sudah dipraktekkan oleh para sufi terdahulu. Jadi stressing disini pada penganutan agama terbuka atau toleran. Toleransi disini adalah membangun sebuah pandangan yang relatif inklusif dan menjauhkan diri dari ke truth claim yang eksklusif. (Madjid, 1998: 254)

DAFTAR PUSTAKA
 Madjid, Nurcholish, Masyarakat Madani dan Investasi Demokrasi: Tantangan dan Kemungkinan, Bandung: Pustaka Hidayah, 1999.
-------------------------, Agama dan Politik dalam Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001.
-------------------------, Dialog Keterbukaan: Artikulasi Nilai Islam dalam Wacana Sosial Politik Kontemporer, Jakarta: Paramadina, 1998.
-------------------------, Puasa Titian Menuju Rayyan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000.
Sufyanto, Masyarakat Tamaddun, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Masyarakat Civil Society atau Masyarakat Madani (Konsepsi Keragaman ala Nurcholis Madjid)"

Post a Comment