Karena Tuhan
hanyalah Allah saja, maka perintah-perintah-Nya berlaku bagi semua manusia.
Universalisme ini mencakup manusia sebagai subyek atau pelaksana
perintah-perintah tersebut dan juga sebagai obyek yang dalam dirinya
perintah-perintah tersebut dilaksanakan. Sebelumnya, umat manusia telah hidup
berkelompok-berkelompok berdasarkan ras atau budaya atau kedua-keduanya. Islam (tauhid)
memberi dasar baru bagi pengelompokan ini, yaitu Ummah. (Al-Faruqi, 1982: 190)
Menurut al-Faruqi, ummah
adalah suatu kesepakatan dalam tiga segi yang menyangkut wawasan, kehendak dan
tindakan yang diharapkan sama-sama dimiliki kaum muslimin. Universalisme yang
diimplikasikan oleh tauhid ini menuntut suatu formasi baru. Karena ummah
muslim adalah suatu masyarakat baru yang diorganisasikan bukan atas dasar suku
atau ras melainkan agama, maka orang-orang bukan Muslim juga diharapkan untuk
melakukan hal yang sama, yaitu melepaskan ikatan kesukuan dan rasial mereka dan
melakukan reorganisasi atas dasar agama. Agama bukanlah perspektif yang
terbelakang dan prinsip penglompokan yang mandeg, penuh prasangka dan
ekslusifis sebagaimana dinyatakan oleh propaganda Barat. Ia masih merupakan
aspek kehidupan manusia yang paling penting didunia. Agama memberikan definisi
paling tinggi yang bisa dicapai tentang manusia.
Perjuangan pahit
Barat melawan Gereja Kristen, menyebabkan agama memperoleh reputasi buruk.
Kesetiaan pada Raja, etnosentrisme dan nasionalisme merupakan kekuatan-kekuatan
yang menuntun perlawanan terhadap gereja, maka agama sebagai dasar
pengelompokan dan komunitas universal yang dicita-citakan olehnya menjadi
sasaran celaan dan kutukan karena kaitannya dengan Gereja. Itulah sebabnya
mengapa pikiran Barat kembali kepada cita-cita komunitas universal dibawah
bimbingan Gerakan Pencerahan (renaissance), dimana cita-cita Gereja yang sama
dikejar, bukan atas dasar agama tetapi berdasar atas akal semata. (Al-Faruqi, 1982: 190-191)
Menurut al-Faruqi,
Islam berupaya mengorganisasikan kembali dunia atas dasar pandangan manusia
tentang realitas, cita-cita bagi dirinya sendiri, kerabat dan keturunannya,
pandangannya tentang tujuan akhir dirinya dan seluruh umat manusia-yang
kesemuanya membentuk agama. Islam memandang orang yang bukan pemeluknya sebagai
pesaing yang sederajat dalam masalah-masalah kehidupan yang paling penting
didunia ini dan memberi mereka identitas menurut gagasan mereka sebagai
masyarakat mereka mengenai masalah-masalah tersebut.
Hal tersebut diatas
termanifestasi dari untaian kehidupan Nabi. Nabi telah mengorganisasi kaum
Muslimin dalam suatu kelompok yang didasarkan atas agama. Beliau mempersatukan
suku Aus dan Khazraj dan selanjutnya mereka dipersatukan pula dengan suku
Quraisy yang berhijrah di Madinah. Lebih jauh lagi, beliau menyatukan orang
merdeka dengan budak, tuan dengan bekas budaknya, menjadikan mereka sederajat
dan menjunjung tinggi hukum Tuhan diatas mereka semua itu. Ketika tiba di
Madinah pada Juli 622, beliau menciptakan suatu piagam perjanjian antara orang
Yahudi dan Muslim untuk mengatur kehidupan mereka. Munculnya konstitusi ini
menandai tegaknya negara Islam, antara Nabi, kaum Muslim, orang Yahudi dan
suku-suku klien mereka di Madinah. Penjaminnya adalah Tuhan, yang dengan
nama-Nya perjanjian tersebut dibuat. (Al-Faruqi, 1982: 192)
Al-Faruqi
menandaskan bahwa konstitusi ini pertama-tama menghapuskan sistem pengelompokan
yang mendefenisikan manusia dengan afiliasi kesukuannya dan menyatakan
kewajiban-kewajiban, hak-hak dan tanggung jawab dalam rangka kesetiaan pada
sukunya. Sebagai ganti tribalisme, piagam Madinah menetapkan agama sebagai
prinsip pertama dan dibawah perlindungannya disatukan orang-orang yang berbeda
suku, status sosial dan ras. Semua orang muslim menjadi suatu ummah yang
organis dan terbuka, yang ikatan sosialnya adalah tauhid (Islam). Sejajar
dengan Ummah muslim ini adalah ummah yang lain yang terdiri dari
orang Yahudi. Seperti halnya kaum muslimin, mereka harus mengorganisasikan diri
dalam suatu entitas organis tanpa memandang afiliasi kesukuan. Ummah
mereka harus diatur dengan hukum Yahudi (Taurat) dan kehidupan
anggota-anggotanya ditata sesuai dengan ajaran agama Yahudi sebagaimana yang
ditafsirkan para Rabbi mereka. Konstitusi berkewajiban melindungi Ummah
Yahudi, memberlakukan keputusan Dewan Rabbi dan memberikan kepadanya kebebasan,
kedamaian dan iklim yang diperlukan untuk kesejahteraan dan pertumbuhannya. (Al-Faruqi, 1982: 192)
Al-Faruqi juga
menyampaikan bahwa sejarah Islam juga mencatat bahwa Nabi menerima orang
Kristen dari Najran, Arabia Selatan. Yang sebagian berkonversi menjadi Muslim
dan oleh Nabi disatukan dengan ummah Muslim, sementara yang tetap
bertahan dengan agamanya diorganisasi dalam suatu Ummah tersendiri. Para
Khalifah juga berbuat sama terhadap komunitas didalam maupun diluar Islam. Dalam
dasawarsa pertama hijriah, sebagian warga negara dalam negara Islam bukanlah
orang-orang Islam tetapi masa depan, keamanan, kesejahteraan dan
pranata-pranata mereka mendapat perhatian besar dari negara. (Al-Faruqi, 1982:
192-193)
Walhasil, dari
berbagai fenomena teologis tersebut, al-Faruqi akhirnya merumuskan penafsiran “teologisnya”
bahwa negara Islam bukanlah negara dalam pengertian nasional yang umum sekarang
ini. Ia bukanlah suatu kumpulan homogen, unit integral yang bersifat nasional
ataupun komunitas yang mengabdi pada dirinya sendiri (Gemeinshaft).
Negara Islam adalah sentral kuat yang didukung oleh kekuatan pertahanan dan ummah
Muslim dan juga oleh federasi komunitas keagamaan yang otonom, yang
masing-masing mempunyai pranata agama, sosial, politik dan ekonomi sendiri.
Negara Islam berdiri diatas semua itu, tetapi hanya dengan kekuasaan eksekutif
saja. Negara tidak mempunyai kekuasaan legislatif. Tujuan eksistensi negara
adalah untuk memenuhi kehendak-Nya. Misinya adalah melebarkan sayap diatas bumi
dan mempersatukan semua manusia atas dasar kepatuhan kepada Tuhan. Sebab, Tuhan
menciptakan manusia bersuku-suku dan berbangsa-bangsa dengan tujuan saling
mengenal dan berkerja sama. Kedaulatan dalam negara Islam berada ditangan
hukum. Negara dengan segala pranatanya hanya pelaksana hukum tersebut yang
dimaksudkan untuk mengubah dunia dan manusia sesuai pola yang diwahyukan Tuhan. (Al-Faruqi, 1982: 193)
Oleh sebab itu
negara Islam tidak hanya harus mencakup komunitas Kristen ataupun Yahudi tetapi
juga seluruh ummat manusia. Karenanya konstitusinya harus bercakupan luas dan
terdapat modus vivendi dimana semua komunitas dapat hidup berdampingan
secara damai, berlomba dalam kebaikan dan saling berhubungan berdasarkan
prinsip saling menghormati.
(Al-Faruqi, Ismail Raji’, Tauhid: Its
Implications for Thought and Life, alih bahasa oleh
Rahmani Astuti, Tauhid, Bandung: Pustaka, Cet. ke- 1, 1988.)
artikel yg menarik...
ReplyDelete