Kalimah Sawa’: Manifesto Keadilan, Persamaan dan Kesetaraan (Konsepsi Zakiyuddin Baidhawy)


Islam multikultural adalah sebentuk perspektif teologis tentang penghargaan terhadap keragaman dan “sang lian” (the other), suatu assesment teologis mengenai agama lain, kultur lain dan etnik lain dan penempatannya secara layak dalam wilayah tatanan publik etis, sebuah teologi Qur’ani yang membolehkan “sang lian” menjadi “yang lain” sebagai realitas yang secara etis diperkenankan atau bahkan keniscayaan.

Sebagai risalah profetik[1], Islam pada intinya adalah seruan pada semua ummat manusia, termasuk mereka para penganut agama-agama, menuju satu cita-cita bersama kesatuan kemanusiaan (unity of humankind)
tanpa membedakan ras, warna kulit, etnik, kebudayaan dan agama. Karena ummat manusia tak ubahnya waktu, keduanya maju tak tertahankan. Dan sama seperti tak ada jam tertentu yang mendapatkan kedudukan khusus, begitu pula tak ada satu orang pun, kelompok atau bangsa manapun yang dapat membanggakann diri sebagai diistimewakan Tuhan (The Chosen People). Ini berarti dominasi ras dan diskriminasi atas nama apapun merupakan kekuatan antitesis terhadap tauhid dan karenanya harus dikecam sebagai kejahatan atas kemanusiaan. Pesan ini secara tegas disinyalir oleh al-Qur’an: (Baidhawy, 2005: 24).
Katakanlah: wahai semua penganut agama (dan kebudayaan). Bergegaslah menuju dialog dan perjumpaan multikultural (kalimatun sawa’) antara kami dan kamu (QS. Ali Imran: 64)
 Dialog bukan semata percakapan tetapi juga pertemuan dua pikiran dan hati mengenai persoalan bersama, dengan komitmen bersama yang tujuannya agar setiap partisipan dapat belajar dari yang lain sehingga dapat berubah dan berkembang. “Berubah” artinya dialog yang terselenggara secara terbuka, jujur dan simpatik dapat membawa pada kesepahaman (mutual understanding) dimana prasangka, stereotip dan celaan dapat dikurangi dan dieliminir. Dikatakan “tumbuh” karena dialog mengantarkan setiap partisipan memperoleh informasi, klarifikasi dan semacamnya dari sumber primer dan dapat mendiskusikannya secara terbuka dan tulus.
Dialog merupakan pangkal pencerahan nurani dan akal pikiran (tanwir al-Qulub wa al-‘Uqul) menuju kematangan cara beragama yang menghargai “kelainan” (the Otherness). Dengan demikian, paradigma dan sistem nilai Sawa’ adalah menyangkut cara manusia memahami diri sendiri dan dunia lain (the other) pada tingkat terdalam (from within), membuka kemungkinan-kemungkinan untuk menggali dan menggapai selaksa makna fundamental kehidupan secara individual dan kolektif dengan berbagai dimensinya. (Baidhawy, 2005: 25)
Menurut Baidhawy, dialog adalah jiwa universal yang melampaui pertempuran agama, konfrontasi pandangan ilmiah dengan kehidupan agama dan spritual, sehingga pada gilirannya dapat memunculkan spirit perdamaian, rekonsiliasi (sulh), pengampunan (‘afw), nirkekerasan (lyn) dan berkeadaban (madani). (Baidhawy, 2005: 26)
Baidhawy menandaskan, spirit kalimah sawa’ memperoleh momentumnya kembali untuk lahir dengan wajah baru. Tentu saja, melalui pembacaan ulang dan memperdengarkan kembali secara produktif (al-qira’ah al-muntijah) untuk menghadirkan kedalaman makna yang menggairahkan dan mencerahkan kehidupan bersama. Spirit kalimah sawa’ perlu ditumbuhkan kembali sebagai wahana tranformasi diri dan transformasi sosial serta membangkitkan pola pikir dan pola hidup dialogis agar lebih dapat meraih kesejahteraan dan kedamaian dalam kehidupan personal maupun komunal. Seluruh kemajuan agama, spritual, rasional, moral dan politik dalam evolusi kebudayaan harus dikonstruk dalam kematangan dialog dan perjumpaan multikultural secara kreatif (creative dialogue and multicultural encounters (Baidhawy, 2005: 27)
Baidhawy menawarkan bahwa untuk mengatasi kebuntuan sistem teologi ekslusif - dalam konteks Islam - dilakukan dengan beberapa cara:
  1. Mengambil sebagian ayat al-Qur’an dan al-Hadits yang relevan untuk membuktikan bahwa toleransi secara normatif memperoleh legitimasi dan justifikasi Qur’ani, namun dalam jangka panjang prakteknya tidak dapat dipertahankan kecuali dengan menghadirkan tafsir dan pembacaan kontemporer.
  2. Menggali dimensi kesejarahan generasi terdahulu terutama Nabi dan sahabat mengenai praktek toleransi.
  3. Toleransi tidak hanya sekedar persaudaraan (ukhuwwah) tetapi adalah ekspresi tentang pemenuhan kebutuhan sosiologis dan menegaskan urgensi komitmen politis pada momentum-momentum pertikaian ideologi yang besar. (Baidhawy, 2005: 27-28)

Baidhawy juga mensitir ayat berikut ini sebagai dasar tesis teologisnya.
“Hai manusia, sesungguhnya Kami jadikan kalian dari jenis laki-laki dan perempuan dan menjadikan kalian berkelompok-kelompok dan berbangsa-bangsa, agar kalian saling memahami dan saling menghargai. Sesungguhnya orang yang paling bermartabat disisi Allah adalah mereka yang paling dapat memahami dan menghargai perbedaan diantara kamu.” (QS. Al-Hujuurat: 13)
Menurutnya ayat ini mengandung tiga prinsip utama terkait dengan hidup dalam keragaman dan perbedaan, yakni:
a.       Prinsip plural as usual, yakni kepercayaan dan praktek kehidupan bersama yang menandaskan kemajemukan sebagai sesuatu yang lumrah dan tidak perlu diperdebatkan apalagi dipertentangkan.
b.      Prinsip equal as usual, yakni normativitas bagi kesadaran baru ummat manusia mengenai realitas dunia yang plural.
Prinsip sahaja dalam keragaman (modesty in diversity), yakni sikap moderat yang menjamin kearifan berpikir (open mind), jauh dari fanatisme yang melegitimasi instrumen kekerasan dan mendialogkan berbagai pandangan keagamaan maupun kultural tanpa diiringi tindakan pemaksaan.
(Baidhawy, Zakiyudin dan M. Thoyibi (ed), Reinvensi Islam Multikultural, Solo: Pusat Studi Budaya dan Perubahan Sosial, 2005.)


[1] Kesadaran seorang Muslim untuk tidak larut dalam  pengalaman keagamaan yang sifatnya personal dan hilang dalam kefanaan, namun pengalamannya mistiknya diteruskan kebumi untuk melakukan perubahan sosial, budaya, politik, ekonomi dan intelektual umat manusia, Lihat Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in Islam (New Delhi: Kitab Bhavan, 1985).

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Kalimah Sawa’: Manifesto Keadilan, Persamaan dan Kesetaraan (Konsepsi Zakiyuddin Baidhawy)"

Post a Comment